Senin, 10 Januari 2011

Saya dan Konseling

Pertama kali mengenal konseling tatkala penulis masih duduk di bangku SMP, sekitar 32 tahun yang lalu. Sebagai siswa yang sedang memasuki masa remaja awal, pada waktu itu penulis merasakan betul gejolak keremajaan,ang mengakibatkan penulis “terpaksa” harus berurusan dengan guru BP (panggilan untuk konselor pada waktu itu). Pada saat diwawancarai atau mungkin diinterogasi, rasa takut sempat menyelimuti diri penulis, karena kebetulan Guru BP-nya merupakan sosok yang sangat berwibawa dan ditakuti oleh para siswa. Setelah keluar dari ruangan BP, dalam hati saya berjanji tidak akan berusaha untuk melanggar peraturan sekolah lagi, karena takut dan malu jika harus berurusan lagi dengan Guru BP.

Empat tahun kemudian, pada saat akan mengakhiri studi di SMA, lagi-lagi penulis terpaksa harus berurusan dengan Guru BP. Namun jauh berbeda dengan apa yang dialami ketika masih di SMP, sosok guru BP yang penulis hadapi merupakan sosok yang lembut dan penuh perhatian, walaupun pada saat itu penulis merupakan “orang yang bermasalah”. Kesan manis dan simpatik yang ditampilkannya membuat penulis sering melakukan kontak dengan guru BP tersebut bahkan dia pun banyak bercerita tentang apa itu BP dan bagaimana untuk menjadi guru BP.

Setelah menamatkan pendidikan di SMA dan gagal menempuh ujian masuk perguruan tinggi yang tergabung Proyek Perintis I, penulis mengambil alternatif lain untuk mengikuti ujian masuk Perguruan Tinggi melalui Proyek Perintis IV, salah satu perguruan tinggi yang bergabung di dalamnya adalah IKIP Bandung (sekarang berganti nama menjadi Universitas Pendidikan Indonesia).

Pada saat harus mengisi formulir pendaftaran, penulis sempat mengalami kesulitan untuk menentukan jurusan apa yang hendak ditempuh. Ketika membaca buku panduan pengisian formulir, di sana tertera ada satu jurusan yang bernama Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB), kemudian penulis bertanya sambil bercerita tentang guru BP yang pernah penulis alami di SMA kepada kakak penulis yang mengantar penulis,– yang juga kebetulan sebagai mahasiswa pada salah satu jurusan di IKIP Bandung,- singkatnya pertanyaan itu, apakah jurusan PPB itu akan menghasilkan guru seperti guru BP yang pernah saya hadapi ketika di SMA. Jawaban singkatnya, ya seperti itulah ! Maka tidak panjang lebar lagi, penulis langsung mengisi formulir pendaftaran dengan mencantumkan jurusan PPB sebagai satu-satunya yang penulis pilih. Walaupun diberikan kesempatan untuk memilih dua pilihan, penulis hanya memilih satu jurusan saja. Akhirnya, penulis pun lulus testing dan diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan PPB-FIP IKIP Bandung.

Rupanya pertemuan dan komunikasi yang menyenangkan dengan guru BP pada saat di SMA telah mempengaruhi keyakinan dan pola pikir penulis, sehingga akhirnya penulis pun memutuskan untuk menempuh pendidikan pada jurusan yang sama dengan Guru BP penulis pada saat di SMA. (kalau tidak salah guru BP tersebut bernama Bapak Sa’i Dayari, mudah-mudahan beliau sempat membaca tulisan ini dan penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas segala bimbingannya).

Selanjutnya, penulis menggeluti perkuliahan tentang bimbingan dan penyuluhan dan pada satu kesempatan mengikuti perkuliahan, penulis bertanya kepada salah seorang dosen tentang realita bimbingan dan penyuluhan pada saat itu, pertanyaannya seputar citra dan persepsi bimbingan dan penyuluhan yang dianggap sebagai lembaga yang “mengerikan” dan mungkin sangat dibenci oleh siswa. Beliau memberikan analisis panjang lebar, yang diakhiri dengan amanat beliau bahwa tugas penulislah (dan juga mahasiswa yang lainnya) untuk meluruskan semua itu, jika penulis kelak menjadi guru BP.

Pada akhirnya penulis pun lulus sebagai Sarjana Pendidikan dengan keahlian dalam bidang Bimbingan dan Penyuluhan. Hanya selang satu tahun setelah lulus, penulis lulus testing diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di salah satu SMA Negeri di Kabupaten Bekasi dan bertugas sebagai Guru BP.

Pada awal menjadi Guru BP, Kurikulum BP yang sedang dikembangkan adalah Kurikulum 1984, yang tampaknya masih berorientasi pada konseling terapeutik (kuratif). Sehingga dalam mengimplementasikan layanan BP pun masih banyak diwarnai oleh pendekatan yang bersifat terapeutik (kuratif). Pada kurikulum 1984 ada upaya untuk menekankan Bimbingan Karier sebagai substansi Bimbingan dan Penyuluhan. Di lapangan ternyata banyak yang keliru dalam menafsirkannya seolah-olah Bimbingan Karier merupakan bidang yang terpisah dari Bimbingan dan Penyuluhan, sehingga orang sering menyebutnya sebagai BP/BK. Lima tahun kemudian penulis pindah tugas ke salah satu SMA Negeri di Kabupaten Kuningan, tempat kelahiran penulis. Semasa bertugas menjadi guru BP di sana, sempat terjadi perubahan kurikulum yaitu Kurikulum 1994. Salah satu perubahan yang terjadi adalah perubahan nama Bimbingan dan Penyuluhan menjadi Bimbingan dan Konseling. Bersamaan itu pula mulai diperkenalkan sebutan Guru Pembimbing (sebutan resmi untuk petugas bimbingan dan konseling), menggantikan sebutan Guru BP, namun ada juga yang menyebutnya Guru BK. Dalam mengimplementasikan Kurikulum 1994, dikembangkan konsep Pola 17 sebagai kerangka kerja Bimbingan dan Konseling. Pada Kurikulum 1994 ini telah meletakkan dasar untuk mengembangkan konseling dengan paradigma pencegahan dan pengembangan. Sehingga dalam mengimplementasikan layanan Bimbingan dan Koseling tidak harus difokuskan untuk selalu “mengejar-ngejar kasus” semata. Suka dan duka menyertai perjalanan penulis selama menjadi Guru BP/Guru Pembimbing. Rasa suka dan bahagia muncul tatkala penulis berhasil membantu para siswa untuk bisa menjalani kehidupannya lebih baik. Terlebih jika ada orang tua yang sengaja datang ke sekolah hanya untuk sekedar menyampaikan rasa terima kasih atas hasil bimbingan yang telah dilakukan terhadap putera-puterinya.. Sebaliknya, rasa sedih dan duka muncul ketika penulis gagal memberikan bantuan kepada siswa yang terpaksa harus tidak naik kelas atau dikeluarkan gara-gara melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Perdebatan dan adu argumentasi dengan rekan-rekan kerja seringkali terjadi tatkala dalam rapat kenaikan kelas atau pelulusan harus mengambil keputusan untuk menentukan nasib siswa yang berada pada jurang “degradasi”. Upaya advokasi yang dilakukan memang seringkali menimbulkan kontraversi dengan rekan-rekan kerja, tapi itulah resiko jabatan yang harus dijalani.Begitu juga, rasa nelangsa dan prihatin muncul ketika guru-guru mata pelajaran menerima tunjangan Kelebihan Jam Mengajar, sedangkan guru pembimbing terpaksa harus gigit jari. Walaupun pada akhirnya penulis bersama dengan rekan-rekan guru pembimbing lainnya berhasil meyakinkan sekolah bahwa guru pembimbing pun berhak atas tunjangan Kelebihan Jam Mengajar.Perjalanan selama lima belas tahun menjadi guru pembimbing telah memberikan pengalaman dan kebanggaan tersendiri bagi penulis, sampai akhirnya pada tahun 2002 penulis beralih tugas menjadi pengawas sekolah dengan basis bimbingan dan konseling. Sambil menjalankan tugas-tugas kepengawasan, penulis semenjak tahun 2003 diberi kepercayaan untuk menjadi Dosen pada Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP-Universitas Kuningan untuk mengampu mata kuliah Psikologi Pendidikan (Perkembangan Peserta Didik) – yang di dalamnya memberi kajian akademik tentang bimbingan dan konseling–

Selama menjalani profesi kepengawasan, terjadi lompatan besar dalam upaya mereformasi pendidikan nasional. Pada tahun 2003, dengan hadirnya Undang-Undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 mulai diperkenalkan isitilah konselor untuk sebutan resmi petugas bimbingan dan konseling. Tahun 2004 muncul Kurikulum Berbasis Kompetensi, yang kemudian pada tahun 2006 direvisi dengan hadirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

Hanya sangat disesalkan, di tengah-tengah gelegar reformasi pendidikan dan pembelajaran tersebut, ternyata suara tentang bimbingan dan konseling semakin sayup-sayup dan nyaris tak terdengar. Sehingga penulis dan juga rekan-rekan konselor di lapangan seperti kehilangan pegangan dan arah untuk menyikapi berbagai perubahan yang terjadi.

Untuk menyiasati keadaan dan berbagai persoalan yang menghinggapi profesi konseling saat ini, akhirnya sampailah pada satu pemikiran untuk membuat situs ini, dengan harapan dapat dijadikan sebagai media komunikasi secara virtual, khususnya dengan seluruh rekan-rekan konselor dimana pun berada dan juga masyarakat lainnya, untuk saling berbagi pengalaman dan pengetahuan, sehingga profesi konseling tetap bisa memberikan manfaat bagi kehidupan dan kemajuan pendidikan kita.
yang dimaksud penulis adalah: AHMAD SUDRAJAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Recent Comments

Recent Posts

PAKDE HARTO SMP PANGKUR | Template Ireng Manis © 2010 Free Template Ajah. Distribution by Dhe Template. Supported by Cash Money Today and Forex Broker Info